Selasa, November 24, 2009

Penambal Ban dan Penjual Jajanan

Selasa, 24 Nopember 2009
Sore sudah menjelang. Mendung semakin tebal. Jam sudah menunjukkan pukul 15.30. Di sepanjang jalan Puspogiwang 3, di belakang sekolah, mobil yang akan menjemput anak-anak mulai berebut lahan parkir yang sangat terbatas. Jangan ditanya dengan kondisi jalan Pamularsih, pasti lebih padat lagi. Para orangtua berharap-harap cemas, kira-kira mana yang lebih dahulu datang, anak mereka atau hujan ? Trauma masih menyelimuti sebagian dari kami, ketika Jumat minggu lalu, Semarang dilanda hujan badai. Petir menyambar-nyambar dengan sangat dasyat. Anak-anak basah kuyup ditimpa hujan ketika selesai mengikuti kegiatan ekskul. Banyak di antaranya menangis ketakutan. Jangankan mereka, kami yang orangtua saja ketakutan mendengar bunyi petir yang seperti ledakan bom di telinga. Semoga saja, sore ini cerah..begitu kami berharap.

Sambil menanti anak-anak pulang, iseng-iseng saya berjalan ke arah RM Mbok Berek, kira-kira hanya 5 meter dari sekolah. Saya sangat ingin tahu, apakah bapak tua penambal ban sepeda itu masih berada di situ ? Ternyata masih ! Pak tua itu seolah tidak peduli akan mendung. Selama 5 tahun saya melewati jalan ini, pak tua itu masih terus setia menempati pinggir gang, sambil berharap ada orang yang akan memanfaatkan keahlian satu-satunya, menambal ban sepeda. Dulu saya pernah iseng bertanya pada orangtua murid kelas senior, sejak kapan pak tua itu berada di situ ? "Sebelum saya menyekolahkan anak di sini,pak tua itu sudah bekerja di situ", jawab si ibu. Alamak..berarti bapak tua itu sudah bertahun-tahun hidup seperti itu. Pernah suatu siang saya lewat berjalan kaki, pak tua itu tidur siang sambil duduk di pinggir jalan. Rasanya sangat kontras kehadiran pak tua tersebut ditengah lingkungan sekolah yang terkenal elite ini.

Selain pak tua, saya bertemu pula dengan seorang nenek tua yang sudah terhuyung-huyung jalannya. Di tangan kanannya nampak dia membawa plastik. Ternyata isinya jajanan kuno yang dulu dikenal dengan nama berondong. Si nenek berjalan dari halaman depan sekolah hingga halaman belakang. Setiap orang yang dijumpai, ditawari jajanannya. Harganya sangat murah, 3000 perak untuk 10 buah. Tapi saya lihat hingga si nenek pergi ke arah jalan Siliwangi, tak seorangpun di sekolah itu yang membeli makanannya. Berondong yang sudah kuno itu, tentu saja sangat tidak menarik hati bagi anak-anak, juga bagi para orangtua.

Saya memang tidak punya foto aslinya, tapi kira-kira beginilah 
penampilan pak tua tersebut.


Melihat dua peristiwa itu, terasa sekali ironi kehidupan dalam tatanan masyarakat kita. Sebagai sekolah Islam yang elite, di mana masyarakat yang menyekolahkan putra-putrinya di situ tentu juga termasuk kaum elit Islam, semestinya kita membawa manfaat yang besar bagi masyarakat sekitar. Bukan hanya pihak sekolah, tapi juga kita para orangtua. Melalui 2 pertemuan tadi, Allah seolah ingin mengingatkan kita agar kita tidak menjadi manusia-manusia penghuni istana gading, sibuk dengan diri sendiri & keluarga kita. Tapi Allah ingin kita menjadi manusia yang lebih berguna bagi sesama kita, terutama masyarakat sekitar. Karena manusia Islam sejati seharusnya adalah manusia yang bisa menyebarkan ajaran Islamnya dengan menjadikan dirinya bermanfaat bagi sesama yang sedang menderita.Tak kan ada gunanya kita mendalami ajaran Islam tapi menutup mata pada penderitaan di sekitar kita. Semoga kita akan lebih membuka mata kita. Bukankah nanti saat di akhirat kita akan ditanya, apa manfaat kehadiranmu bagi manusia lain ? Sudahkah anda siap menjawabnya ? Mari kita bersiap karena kita tidak akan tahu kapan maut menjemput.

1 komentar:

  1. Emang sedih kalau di lihat dua contoh dalam artikel itu, tp mau bagaimana???... nggak mungkin kan kita nambalin ban di sana sedangkan rumah anak2 sendiri menyebar ke seluruh wilayah. Ngasih sekadar uang ke pak tua tersebut karena nggak tega("untuk jajan pak", kata saya karena dia bingung kok di kasih uang padahal nggak nambal ban). Tp mau di lakoni tiap hari juga gimana ya ...
    Termasuk beli jajanan berondong dari si ibu tua, dulu sering anak2 saya lakukan karena tidak tega ... tapi saya bingung makanan itu mau diapain karena anak2 tidak doyan2 amat. Anak2 saya kalau lihat pasti bilang kasihan ya Ma, tapi paling kita bisa ngomong begitu doang ...

    Miris memang, tapi mau bagaimana lagi ya ... mata sih udah terbuka lebar tapi daya upaya kita sebagai manusia juga terbatas.

    BalasHapus