Senin, Januari 25, 2010

Homeschooling pada Anak Usia Dini


Dari redaksi :
Saat ini adalah saat di mana para orangtua sibuk mencari berbagai informasi sekolah yang tepat untuk anak mereka, baik tingkat KBTK maupun SD. Khusus kami soroti di sini adalah PAUD yakni untuk anak usia 2-5 tahun. Begitu banyaknya PAUD ditawarkan, semua dengan iming2 berbagai fasilitas. Namun pernahkan kita berpikir dari sisi kebutuhan anak ? Setiap anak adalah individu yang berbeda dan kebutuhannya pun berbeda pula. Jadi orangtua yang bijak dalam memilih sekolah untuk anak, mestinya menempatkan si anak sebagai faktor yang pegang peranan penting dalam memilih sekolah. Homeschooling merupakan salah satu alternatif bagi PAUD. Banyak pandangan negatif pada HS ini, tetapi sebaiknya kita melihat kembali, mengapa HS menjadi makin marak ? Karena biaya pendidikan yang semakin mahalkah ? Atau karena sekolah formal dianggap tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan anak karena hanya memandang anak sebagai obyek pendidikan dan bukan subyek pendidikan ? Mari kita mawas diri bersama.
Credit source : Sumardiono   
P endidikan anak usia dini (PAUD) adalah sebuah fenomena yang sedang marak pada saat ini. Para orangtua berduyun-duyun memberikan pendidikan kepada anak sejak usia dini, bahkan sejak mereka masih bayi dan dalam kandungan.Pada satu sisi, fenomena ini menunjukkan tingginya tingkat kepedulian orangtua atas pendidikan dan masa depan anak-anak. Stimulus sejak usia dini pada anak-anak merupakan sebuah hal yang positif untuk memicu perkembangan anak.
Anak yang digegas berprestasi akademis pada usia dini, belum tentu akan melahirkan karya-karya besar dan sukses di masa depannya.
Tetapi pada sisi lain, fenomena ini juga perlu dicermati. Terutama dalam aspek pertumbuhan anak yang menjadi subyek pendidikan. Jangan sampai anak berubah menjadi obyek yang dinilai dengan ukuran orang-orang dewasa. Demikian pun, materi yang dikembangkan untuk anak jangan sampai membuat anak justru kehilangan kesempatan untuk berkembang karena terlalu mendapat tekanan yang besar dalam perkembangan pada aspek tertentu, misalnya aspek kecerdasan kognitifnya.

Pada tahun 1970-an, fenomena orangtua yang mengirimkan anak ke sekolah formal sejak usia dini pernah diteliti oleh Dr. Raymond Moore dan isterinya, Dorothy Moore. Hasil penelitian yang dibukukan dalam "Better Late than Early" itu menyoroti tentang dampak buruk lepasnya keterikatan emosional anak dengan orangtua sejak usia dini. Menurut Moore, peran orangtua dan keluarga pada anak-anak usia dini sangat besar. Hubungan cinta dan ikatan emosional orangtua dengan anak tidak bisa digantikan oleh institusi formal apapun. Sekali kerusakan emosional itu terjadi pada anak, dampaknya bersifat jangka panjang dan tidak dapat diperbaiki.

Kehati-hatian juga diingatkan oleh Dewi Utama Faizah, pakar pendidikan anak usia dini dalam salah satu makalahnya "Anak-anak Karbitan". Dewi mengingatkan orangtua agar berhati-hati dan tidak terjebak pada kondisi "early ripe, early rot". Anak yang digegas berprestasi akademis pada usia dini, belum tentu akan melahirkan karya-karya besar dan sukses di masa depannya. Bisa jadi, pada usia dewasa anak tersebut mengalami kegagalan karena perkembangan emosionalnya tidak dapat digegas sebagaimana penggesan yang dilakukan terhadap perkembangan intelektualnya.

Dalam pendidikan anak usia dini, orangtua perlu berhati-hati agar tidak berasumsi bahwa prestasi akademik pada anak usia dini merupakan jaminan keberhasilan hidup anak-anak di usia dewasa. Asumsi ini dapat menjebak orangtua dengan program percepatan untuk memicu anak berprestasi akademis sejak usia dini dengan mengabaikan aspek perkembangan emosionalnya. Dewi mengutip kisah Edith (1952) yang terkenal jenius karena mendapat stimulus kognitif dari ibunya sejak janin.



Pada usia 1 tahun Edith telah dapat berbicara dengan kalimat sempurna, usia 5 tahun Edith menyelesaikan bacaan ensiklopedi Britannica, usia 12 tahun dia masuk universitas, usia 15 tahun menjadi guru matematika di Michigan State University. Ibunya, Aaron Stem, berhasil menjadikan Edith anak jenius karena terkait dengan kapasitas otak yang sangat tak berhingga. Namun kabar Edith selanjutnya tidak terdengar lagi ketika ia dewasa.

Banyak kesuksesan yang diraih anak saat ia menjadi anak, tidak menjadi sesuatu yang bemakna dalam kehidupan anak ketika ia menjadi manusia dewasa. Hal itu dikontraskan dengan Albert Einstein yang sempat dianggap bebal pada masa kecilnya, tetapi kemudian melahirkan karya-karya besar pada usia dewasanya.

Dalam pandangan yang serupa, para praktisi yang menjalani homeschooling sejak anak usia dini menikmati proses bersama yang mereka lakukan bersama anak-anak. Tetapi, pada saat bersamaan mereka berhati-hati dan mencari keseimbangan antara stimulus kognitif dan dukungan untuk perkembangan emosional anak. Untuk membangun hubungan personal dengan anak, para praktisi homeschooling tak segan untuk melakukan penyesuaian dalam proses kehidupan pribadi mereka.



“Satu test untuk menguji kebenaran sebuah prosedur pendidikan adalah kebahagiaan anak-anak. (Maria Montessori, 1870-1952)”
Sementara itu, Dita Maulina, praktisi homeschooling yang juga mantan dosen psikologi, menyoroti mengenai aspek fun (keriangan) dalam proses pendidikan anak usia dini. Menurutnya, dunia anak adalah dunia bermain. Aspek bermain yang menyenangkan bagi anak harus mendapatkan tekanan utama dalam pendidikan anak usia dini. Selain aspek fun, kesiapan anak untuk belajar juga menjadi perhatian Ria Heraldi, praktisi homeschooling yang tinggal di Palembang.

Praktisi homeschooling lain, Dominika Arumdati, yang banyak belajar dari prinsip-prinsip pendidikan Montessori menekankan mengenai penciptaan kebiasaan-kebiasaan positif pada anak melalui aktivitas-aktivitas kesehariannya. Dengan belajar dari praktek dan memperbaiki sendiri kesalahan-kesalahan yang dilakukannya, anak terbangun kultur belajarnya yang akan berguna untuk kehidupannya saat dewasa nanti. Proses ini menjadi penyeimbang sekaligus penekanan yang lebih diutamakan daripada sekedar stimulus-stimulus yang hanya mendorong perkembangan kognitif anak.

Masa Emas Montessori


“Kemampuan untuk mengajukan pertanyaan penting lebih bermanfaat daripada kemampuan untuk menjawab pertanyaan sederhana.”
Raymond Harris

“Otak kita dapat menyimpan jutaan fakta dan tetap tak terdidik ”
Alec Bourne


 Montessori adalah metode pendidikan yang dikembangkan oleh Dr. Maria Montessori (31 Agustus 1870- 6 Mei 1952). Dr. Maria Montessori percaya bahwa setiap anak adalah unique dan berbeda dari orang dewasa. Anak kecil bukanlah orang dewasa dengan tubuh kecil.
“Aruna bantu ini ya, mommy.”
“Aruna yang pegang sendoknya. Aruna yang tuang dan aduk-aduk!”
“Aruna pakai baju sendiri!”
Ini adalah ungkapan-ungkapan yang sering terdengar, yang menjadi bagian dari keseharian yang kami jalani bersama. Dapur, ruang makan, pekarangan rumah adalah ruang belajar yang tidak terbatas bagi anak saya. Saya memilih menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya: tidak bekerja di luar rumah dan mengambil tanggung jawab penuh untuk mendidik anak saya. Tak ada pembantu atau baby sitter. Maka tak heran jika anak saya yang berumur dua tahun ini selalu bersama saya, melihat, mendengarkan dan melakukan apa yang saya lakukan.
Praktis, kegiatan sehari-hari, menjadi tempat belajar kami bersama termasuk menjalankan pekerjaan kerumah tanggaan. Tantangannya justru pada saya bagaimana berusaha menjadikan pekerjaan itu bukanlah suatu beban, berusaha tidak mengeluh di depan anak, dan selalu menyadari bahwa ini adalah bagian dari pembelajaran bagi anak saya. Tidak mudah karena dalam prakteknya saya sendiri tidak lepas dari kebosanan dan letih fisik akibat pekerjaan rutin yang terus menerus. Mengingat situasi ini, maka saya mencari berbagai buku yang bisa mengembangkan dan menyeimbangkan bagaimana mendidik anak saya terutama dalam hidup sehari-hari.

Membaca buku Teaching Montessori In The Home, The Preschool Years (Elizabet G. Hainstock, Plume, 1997) membantu memperkaya saya dalam memahami tugas dan tanggung jawab sebagai ibu sekaligus pendidik. Latihan tentang hidup sehari-hari termasuk melakukan pekerjaan di rumah, saya pergunakan untuk mengajarkan anak agar bisa menanggapi hal-hal yang ada di lingkungan sekitarnya. Tentu saja berangkat dari hal-hal yang bersifat rutin dan sederhana namun bisa selalu bermakna baru dan menyenangkan bagi si anak. Anak-anak menyukai perulangan namun bukan yang berlebihan. Ini membantu mereka memahami bagaimana pola sebuah pekerjaan bisa diselesaikan. Mereka akan belajar bahwa ada tahapan yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Ini sama dengan mengajarkan logika dan tata urutan secara sederhana.

Hal yang sebaiknya dicapai dalam pengajaran adalah semangat di dalamnya dan bukan sekedar keterampilan mekanis dari seorang ilmuwan; dengan demikian arah persiapan seharusnya mengacu pada semangat dan bukan pada mekanisme.
(Maria Montessori, 1870-1952)


Alam memberikan kesempatan agar kita bisa mempelajari sesuatu pada waktunya. Montesssori menyebut periode usia dini sebagai Sensitive Periods atau masa-masa ‘emas’ perkembangan anak ketika mereka mudah mempelajari sesuatu. Apabila periode ini ini terlewatkan, maka ia akan hilang begitu saja. (Hainstock, 1997:6-7). Ketika periode ‘emas’ ini dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan mengamati kebutuhan belajarnya secara khusus sesuai dengan tahapan umurnya, ini bisa digunakan untuk membantunya memahami dan menguasai lingkungannya.
[Montessori] menyatakan bahwa pikiran anak itu seperti “otak spons” karena kemampuannya yang luar biasa untuk belajar dan memahami dengan mudah dan tanpa sadar dari dunia di sekitarnya. … [Montessori] menegaskan, bagaimanapun, bahwa “lingkungan seharusnya mengangkat si anak dan bukan membentuknya”. (Hainstock, 1997:7-8, istilah sebagaimana aslinya.
Montessori percaya bahwa seorang anak belajar dari lingkungan sekitarnya. Sejak berusia dua tahun, anak punya keingintahuan yang sangat besar, senang bereksplorasi, dan senang mencoba hal baru. Karenanya, kita sebaiknya bisa melihat bahwa setiap anak memiliki kepribadian yang ingin dikembangkannya sendiri: mereka memiliki inisiatif, mereka memilih sendiri apa yang ingin mereka lakukan, bertahan untuk terus melakukannya dan merubahnya sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya sendiri. Mereka sangat ‘hand-minded’ dan senang mengamati berbagai hal dan meresponnya dengan cara mereka sendiri-sendiri sesuai dengan perkembangan motorik, sensorik dan bahasa melalui penggunaan kelima panca indera mereka.

Tabel: Masa ‘Emas’ Menurut Montessori
USIA ANAK (tahun)
PERIODE PERKEMBANGAN
Lahir-3
Perkembangan kepekaan inderawi dan pikiran yang sudah dapat menyerap stimulus melalui panca indera
1 ½ - 3
Perkembangan kepekaan dan kemampuan berbahasa (menirukan, berkomunikasi dua arah)
1 ½ - 4
Perkembangan kordinasi dan gerakan otot
Tertarik dengan objek-objek yang kecil
2 – 4
Pematangan kordinasi gerakan
Peduli/mempertanyakan kebenaran dan kenyataan
Sadar akan ruang dan waktu
2½ - 6
Pematangan pada kepekaan inderawi
3 - 6
‘Tunduk’ pada pengaruh orang dewasa
3½ - 4½
Perkembangan kemampuan menulis
4 – 4½
Perkembangan kemampuan fisik
4½ - 5½
Perkembangan kemampuan membaca
Sumber: Hainstock, 1997:7

Rabu, Januari 06, 2010

Belajar Matematika Cara Menyenangkan

      Tidak perlu bingung jika anak kita meras bosan belajar terutama matematika. Banyak cara membuat belajar matematika menjadi hal yang menyenangkan, salah satu diantara nya adalah belajar online. Saat ini di internet banyak orang gandrung akan games-online, yakni game yang dilakukan secara online.
      Sedikit menyinggung masalah game online. Peminatnya bisa tak terbatas oleh usia, golongan bangsa bahkan pendidikan. Saking besarnya peminat, tiap tahun selalu diselenggarakan acara Cyber Game Competition yg bisa diikuti oleh puluhan team dari berbagai negara termasuk Indonesia. Sayang Indonesia tahun ini tersingkir di babak awal. Juara masih berkisar Jerman, Jepang dan Korea. Hadiahnya cukup besar lho, puluhan bahkan ratusan juta rupiah bisa dibawa pulang pemenang. Nah jadi jangan buru-buru apriori dulu terhadap game online, menjadi gamers pun bisa mendatangkan keuntungan bukan ? Sementara produsen game online sendiri juga tak kalah dengan mengadakan pameran game online terbaru, yg terakhir diadakan di Korea, G-Star 2009. Di sini bisa dilihat tren mutakhir game online.
      Kembali ke masalah belajar online. Games online yang mengajak anak belajar matematikapun banyak tersedia. Anda tinggal masuk ke google dan ketik "math games online" maka akan keluar begitu banyak website yang menyediakan cara belajar matematika, ada pula pelajaran bagi para guru, bagaimana cara mengajarkan matematika dengan cara fun. Bagi anak-anak banyak tersedia game yang menguji kemampuan matematika, semua disajikan dengan didukung disain grafis yang sangat menarik. Dijamin anak tidak akan pernah merasa bosan.
     Disini saya berikan 3 link saja, selebihnya silakan berburu sendiri ya...
 Nah, buktikan bahwa belajar matematikapun bisa menjadi hal yang sangaaat menyenangkan. Dan sekali lagi, terimakasih pada teknologi internet !


Minggu, Januari 03, 2010

Kepada Bapak dan Ibu Guru,
Teruntuk Anak-anakku Siswa/i SDI Al Azhar 25 
Yang Tercinta
Selamat Menempuh Kegiatan Belajar Mengajar

di Semester 2 th.ajaran 2009-2010
Berjuanglah Keras Untuk Menjadi Yang Terbaik
Semangat !