Dari redaksi :
Saat ini adalah saat di mana para orangtua sibuk mencari berbagai informasi sekolah yang tepat untuk anak mereka, baik tingkat KBTK maupun SD. Khusus kami soroti di sini adalah PAUD yakni untuk anak usia 2-5 tahun. Begitu banyaknya PAUD ditawarkan, semua dengan iming2 berbagai fasilitas. Namun pernahkan kita berpikir dari sisi kebutuhan anak ? Setiap anak adalah individu yang berbeda dan kebutuhannya pun berbeda pula. Jadi orangtua yang bijak dalam memilih sekolah untuk anak, mestinya menempatkan si anak sebagai faktor yang pegang peranan penting dalam memilih sekolah. Homeschooling merupakan salah satu alternatif bagi PAUD. Banyak pandangan negatif pada HS ini, tetapi sebaiknya kita melihat kembali, mengapa HS menjadi makin marak ? Karena biaya pendidikan yang semakin mahalkah ? Atau karena sekolah formal dianggap tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan anak karena hanya memandang anak sebagai obyek pendidikan dan bukan subyek pendidikan ? Mari kita mawas diri bersama.
Credit source : Sumardiono P endidikan anak usia dini (PAUD) adalah sebuah fenomena yang sedang marak pada saat ini. Para orangtua berduyun-duyun memberikan pendidikan kepada anak sejak usia dini, bahkan sejak mereka masih bayi dan dalam kandungan. Pada satu sisi, fenomena ini menunjukkan tingginya tingkat kepedulian orangtua atas pendidikan dan masa depan anak-anak. Stimulus sejak usia dini pada anak-anak merupakan sebuah hal yang positif untuk memicu perkembangan anak.
Anak yang digegas berprestasi akademis pada usia dini, belum tentu akan melahirkan karya-karya besar dan sukses di masa depannya.
Tetapi pada sisi lain, fenomena ini juga perlu dicermati. Terutama dalam aspek pertumbuhan anak yang menjadi subyek pendidikan. Jangan sampai anak berubah menjadi obyek yang dinilai dengan ukuran orang-orang dewasa. Demikian pun, materi yang dikembangkan untuk anak jangan sampai membuat anak justru kehilangan kesempatan untuk berkembang karena terlalu mendapat tekanan yang besar dalam perkembangan pada aspek tertentu, misalnya aspek kecerdasan kognitifnya.
Pada tahun 1970-an, fenomena orangtua yang mengirimkan anak ke sekolah formal sejak usia dini pernah diteliti oleh Dr. Raymond Moore dan isterinya, Dorothy Moore. Hasil penelitian yang dibukukan dalam "Better Late than Early" itu menyoroti tentang dampak buruk lepasnya keterikatan emosional anak dengan orangtua sejak usia dini. Menurut Moore, peran orangtua dan keluarga pada anak-anak usia dini sangat besar. Hubungan cinta dan ikatan emosional orangtua dengan anak tidak bisa digantikan oleh institusi formal apapun. Sekali kerusakan emosional itu terjadi pada anak, dampaknya bersifat jangka panjang dan tidak dapat diperbaiki.
Kehati-hatian juga diingatkan oleh Dewi Utama Faizah, pakar pendidikan anak usia dini dalam salah satu makalahnya "Anak-anak Karbitan". Dewi mengingatkan orangtua agar berhati-hati dan tidak terjebak pada kondisi "early ripe, early rot". Anak yang digegas berprestasi akademis pada usia dini, belum tentu akan melahirkan karya-karya besar dan sukses di masa depannya. Bisa jadi, pada usia dewasa anak tersebut mengalami kegagalan karena perkembangan emosionalnya tidak dapat digegas sebagaimana penggesan yang dilakukan terhadap perkembangan intelektualnya.
Dalam pendidikan anak usia dini, orangtua perlu berhati-hati agar tidak berasumsi bahwa prestasi akademik pada anak usia dini merupakan jaminan keberhasilan hidup anak-anak di usia dewasa. Asumsi ini dapat menjebak orangtua dengan program percepatan untuk memicu anak berprestasi akademis sejak usia dini dengan mengabaikan aspek perkembangan emosionalnya. Dewi mengutip kisah Edith (1952) yang terkenal jenius karena mendapat stimulus kognitif dari ibunya sejak janin.
Pada usia 1 tahun Edith telah dapat berbicara dengan kalimat sempurna, usia 5 tahun Edith menyelesaikan bacaan ensiklopedi Britannica, usia 12 tahun dia masuk universitas, usia 15 tahun menjadi guru matematika di Michigan State University. Ibunya, Aaron Stem, berhasil menjadikan Edith anak jenius karena terkait dengan kapasitas otak yang sangat tak berhingga. Namun kabar Edith selanjutnya tidak terdengar lagi ketika ia dewasa.
Banyak kesuksesan yang diraih anak saat ia menjadi anak, tidak menjadi sesuatu yang bemakna dalam kehidupan anak ketika ia menjadi manusia dewasa. Hal itu dikontraskan dengan Albert Einstein yang sempat dianggap bebal pada masa kecilnya, tetapi kemudian melahirkan karya-karya besar pada usia dewasanya.
Dalam pandangan yang serupa, para praktisi yang menjalani homeschooling sejak anak usia dini menikmati proses bersama yang mereka lakukan bersama anak-anak. Tetapi, pada saat bersamaan mereka berhati-hati dan mencari keseimbangan antara stimulus kognitif dan dukungan untuk perkembangan emosional anak. Untuk membangun hubungan personal dengan anak, para praktisi homeschooling tak segan untuk melakukan penyesuaian dalam proses kehidupan pribadi mereka.
Pada tahun 1970-an, fenomena orangtua yang mengirimkan anak ke sekolah formal sejak usia dini pernah diteliti oleh Dr. Raymond Moore dan isterinya, Dorothy Moore. Hasil penelitian yang dibukukan dalam "Better Late than Early" itu menyoroti tentang dampak buruk lepasnya keterikatan emosional anak dengan orangtua sejak usia dini. Menurut Moore, peran orangtua dan keluarga pada anak-anak usia dini sangat besar. Hubungan cinta dan ikatan emosional orangtua dengan anak tidak bisa digantikan oleh institusi formal apapun. Sekali kerusakan emosional itu terjadi pada anak, dampaknya bersifat jangka panjang dan tidak dapat diperbaiki.
Kehati-hatian juga diingatkan oleh Dewi Utama Faizah, pakar pendidikan anak usia dini dalam salah satu makalahnya "Anak-anak Karbitan". Dewi mengingatkan orangtua agar berhati-hati dan tidak terjebak pada kondisi "early ripe, early rot". Anak yang digegas berprestasi akademis pada usia dini, belum tentu akan melahirkan karya-karya besar dan sukses di masa depannya. Bisa jadi, pada usia dewasa anak tersebut mengalami kegagalan karena perkembangan emosionalnya tidak dapat digegas sebagaimana penggesan yang dilakukan terhadap perkembangan intelektualnya.
Dalam pendidikan anak usia dini, orangtua perlu berhati-hati agar tidak berasumsi bahwa prestasi akademik pada anak usia dini merupakan jaminan keberhasilan hidup anak-anak di usia dewasa. Asumsi ini dapat menjebak orangtua dengan program percepatan untuk memicu anak berprestasi akademis sejak usia dini dengan mengabaikan aspek perkembangan emosionalnya. Dewi mengutip kisah Edith (1952) yang terkenal jenius karena mendapat stimulus kognitif dari ibunya sejak janin.
Pada usia 1 tahun Edith telah dapat berbicara dengan kalimat sempurna, usia 5 tahun Edith menyelesaikan bacaan ensiklopedi Britannica, usia 12 tahun dia masuk universitas, usia 15 tahun menjadi guru matematika di Michigan State University. Ibunya, Aaron Stem, berhasil menjadikan Edith anak jenius karena terkait dengan kapasitas otak yang sangat tak berhingga. Namun kabar Edith selanjutnya tidak terdengar lagi ketika ia dewasa.
Banyak kesuksesan yang diraih anak saat ia menjadi anak, tidak menjadi sesuatu yang bemakna dalam kehidupan anak ketika ia menjadi manusia dewasa. Hal itu dikontraskan dengan Albert Einstein yang sempat dianggap bebal pada masa kecilnya, tetapi kemudian melahirkan karya-karya besar pada usia dewasanya.
Dalam pandangan yang serupa, para praktisi yang menjalani homeschooling sejak anak usia dini menikmati proses bersama yang mereka lakukan bersama anak-anak. Tetapi, pada saat bersamaan mereka berhati-hati dan mencari keseimbangan antara stimulus kognitif dan dukungan untuk perkembangan emosional anak. Untuk membangun hubungan personal dengan anak, para praktisi homeschooling tak segan untuk melakukan penyesuaian dalam proses kehidupan pribadi mereka.
“Satu test untuk menguji kebenaran sebuah prosedur pendidikan adalah kebahagiaan anak-anak. (Maria Montessori, 1870-1952)”
Sementara itu, Dita Maulina, praktisi homeschooling yang juga mantan dosen psikologi, menyoroti mengenai aspek fun (keriangan) dalam proses pendidikan anak usia dini. Menurutnya, dunia anak adalah dunia bermain. Aspek bermain yang menyenangkan bagi anak harus mendapatkan tekanan utama dalam pendidikan anak usia dini. Selain aspek fun, kesiapan anak untuk belajar juga menjadi perhatian Ria Heraldi, praktisi homeschooling yang tinggal di Palembang .
Praktisi homeschooling lain, Dominika Arumdati, yang banyak belajar dari prinsip-prinsip pendidikan Montessori menekankan mengenai penciptaan kebiasaan-kebiasaan positif pada anak melalui aktivitas-aktivitas kesehariannya. Dengan belajar dari praktek dan memperbaiki sendiri kesalahan-kesalahan yang dilakukannya, anak terbangun kultur belajarnya yang akan berguna untuk kehidupannya saat dewasa nanti. Proses ini menjadi penyeimbang sekaligus penekanan yang lebih diutamakan daripada sekedar stimulus-stimulus yang hanya mendorong perkembangan kognitif anak.