credit thk : KickAndy
Halak & Poisson dalam Corrupt Schools, Corrupt Universities: What can be done? (2007) membedakan lima bentuk korupsi dalam pendidikan, yaitu penggelapan (embezzlement), (suap (bribery), penipuan, pemerasan, dan pilih kasih (favoritism). Dalam kasus penipuan, Halak & Poisson secara tegas merujuk pada kasus-kasus banyaknya orang yang menggunakan ijazah palsu serta guru dan pengawas yang kesukaannya adalah membantu anak-didik mereka menjawab soal-soal dalam sebuah tes atau ujian. Semua bentuk penyalahgunaan ini pasti banyak sekali contohnya dalam praktek pendidikan kita.
Sekarang mari bertanya pada diri kita sendiri, “pernahkah kita melakukan praktek mencontek ketika bersekolah dulu?” Hampir dapat dipastikan bahwa jawaban kita semua hampir 90% menyatakan pernah menyontek. Tetapi jika pertanyaannya adalah, “apakah ketika kita menyontek di sekolah dulu lebih banyak disebabkan oleh faktor lingkungan (budaya sekolah) atau murni dorongan dari keinginan secara pribadi,” maka jawabannya menurut Edu tetap sama, yaitu 90% responden pasti akan menjawab karena faktor lingkungan (budaya sekolah). Dari perspektif keabadian psikologis kemanusiaan, faktor lingkungan (budaya sekolah) merupakan alasan pembenaran nomor satu untuk mendukung budaya mencontek kita di sekolah. Bahkan hingga saat ini, praktek mencontek malah tumbuh subur di kalangan pendidik dan lembaga pendidikan, terutama dan salah satunya dipicu oleh kebijakan tentang Ujian Nasional (UN).
Ambil contoh pengalaman Edu dalam membina Sekolah Sukma Bangsa (SSB) di Aceh. Setiap tahun ajaran baru, manajemen SSB selalu disibukkan untuk melakukan adjusment terhadap rata-rata nilai ijazah dan hasil UN siswa yang masuk ke SSB. Betapa tidak, rata-rata nilai siswa yang masuk ke SSB untuk setiap mata pelajaran yang di UN-kan adalah 7-9. Tetapi ketika dilakukan test ulang terhadap semua peserta ujian masuk ke SSB dengan menggunakan pola soal seperti di UN bahkan dengan tingkat kesulitan yang telah diturunkan hingga 25%, hasilnya sungguh menakjubkan! Rata-rata siswa hanya memiliki nilai 2-4, artinya mereka sesungguhnya tak layak lulus UN. Tetapi mengapa masih tetap lulus? Jawabannya ada pada kepolosan anak-anak yang mengaku bahwa hampir seluruh jawaban yang di UN-kan dibantu oleh para guru mereka, di mana praktek mencontek marak ditolelir agar mereka bisa lulus.
Mengapa anak-anak yang masuk ke SSB mau secara sukarela mengakui praktek kecurangan tersebut? Jawabannya sederhana, yaitu karena di SSB mereka harus patuh pada budaya sekolah SSB di mana apabila setiap siswa dan guru melakukan pelanggaran terhadap tiga hal, yaitu mencontek, melakukan kekerasan (psikis dan fisik), dan merokok, maka setelah melalui proses pemberitahuan, nasehat, dan pemanggilan orangtua, seorang guru dan siswa dapat dikeluarkan dari sekolah secara tidak hormat. Dalam 3 tahun ada 9 orang siswa dan 2 orang guru yang dikeluarkan gara-gara melanggar aturan tersebut. Tujuan pendidikan di SSB dikemas amatlah sederhana, di mana salah satu pedoman yang dipegang manajemen adalah petuah dari Albert Einstein, yaitu bahwa hasil akhir dari sebuah proses pendidikan adalah membuat seseorang dapat menghargai dirinya sendiri (Try not to become a man of success but a man of value). Dengan pemahaman seperti ini manajemen SSB patut berbangga, karena pada prakteknya saat ini kesadaran untuk tidak mencontek sangat tinggi di kalangan siswa. Bahkan beberapa siswa yag secara akademis tak memiliki keunggulan sekalipun berani untuk mengikuti ujian dengan hanya berbekal pensil dan pulpen ketika masuk ke ruang kelas saat ujian berlangsung. Artinya kepercayaan diri mereka untuk tidak mencontek sudah berubah menjadi semcam habit dan semoga akan berbuah kejujuran.
Praktek penipuan dengan modus memberti contekan saat berlangsungnya UN juga Edu rasa terjadi hampir di seluruh wilayah Republik ini. Ada sebuah cerita tragis dan ironis dari seorang teman Edu yang kini sedang mengambil program magister pendidikan di salah satu universitas di Jakarta. Teman Edu bercerita tentang pengakuan seorang Kepala Madrasah di Jakarta yang juga mengkuti program magister tersebut, di mana sang kepala sekolah dalam 3 tahun terakhir ini meluluskan 100% anak didiknya yang mengikuti UN dengan cara memberikan contekan dengan berbagai cara. Dalam pemahaman Kepala Madrasah ini, adalah “zholim” jika kita tak membantu anak-anak untuk lulus UN. Sebuah statement yang menjungkirbalikkan makna “zholim” dalam pemahaman keagamaan kita. Astaghfirullah al-‘adzim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar