credit thk : KickAndy
Pernah suatu ketika Edu mendengar Guru Sarmili mengutip sebuah hadits yang isinya tentang kepantasan sahabat Umar Bin Khattab untuk menjadi Rasul sesudah Nabi Muhammad. Hadits Nabi tersebut lebih kurang berbunyi ”Jika ada orang yang pantas sesudahku untuk menjadi Nabi dan Rasul, maka orang tersebut pastilah Umar Bin Khattab RA.” Hadits ini dalam pandangan Edu penuh dengan daya imajinasi Rasul Muhammad, yang bukan hanya tak dapat dibaca secara sederhana, tetapi juga mengandung begitu banyak pertanyaan mendasar tentang masa depan umat manusia. Jika hal ini terjadi, pastilah keputusan Rasul Muhammad tersebut merupakan ijtihad terbesar dalam sejarah hidup beliau.
Jauh hari sesudah itu barulah Edu mengerti, mengapa Rasul Muhammad menaksir Sahabat Umar untuk menjadi pengggantinya. Dalam sejarah, Khalifah Umar terkenal memiliki sikap dan sifat tegas, pemberani, cerdas, kreatif, baik hati dan jujur. Semua sifat baik Umar tersebut terekam dengan baik di mata hati Rasul Muhammad, sehingga dalam prediksi beliau pastilah sifat-sifat Umar tersebut sangat dibutuhkan untuk tujuan-tujuan kemanusiaan ke depan.
Dari sudut pandang pedagogis, sifat-sifat Khalifah Umar amat dibutuhkan guru dan anak didiknya dalam upaya mengembangkan budaya avonturir; menjelajah alam pikiran dan pengetahuan dengan penuh keberanian, mau mengambil resiko tapi disertai dengan kejujuran, dan kemampuan mengelola imajinasi secara kreatif. Jika budaya ini tumbuh subur di lingkungan sekolah kita, pastilah anak Indonesia akan tumbuh menjadi serangkaian karakter Umar yang bukan hanya berani, tegas, dan jujur, tetapi juga kreatif sekaligus imajinatif.
’Imajinasi lebih menentukan ketimbang ilmu pengetahuan,’ demikian petuah Albert Einstein. Membuat anak didik kita berani dalam berimajinasi adalah tugas kita semua, para guru dan orangtua. Sebab Edu yakin benar bahwa keberanian melakukan imajinasi sama dengan berijtihad, yaitu kemampuan berlaku, berpikir dan berusaha secara sungguh-sungguh. Dalam bahasa agama, sekalipun terdapat kesalahan dalam berijtihad, maka seseorang akan memperoleh satu pahala. Sedangkan jika ijtihadnya benar, maka kepadanya akan dinisbatkan dua pahala sekaligus. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah budaya menumbuh-kembangkan imajinasi ini telah menjadi perhatian serius dari para praktisi dan pengambil kebijakan otoritas pendidikan kita?
Edu sedikit pesimis menjawab pertanyaan tadi. Rasa-rasanya budaya belajar di sekolah kita masih jauh dari keberanian mengambil resiko ini, selama para guru dan orangtua masih setia pada pola asuh dan pola ajar yang menggunakan pendekatan stimulus-respon (behaviorisme). Bahkan masyarakat kita pun menjadi takut menerima imajinasi seseorang. Sebutlah misalnya kasus Blue Energy dan Banyu Geni, dua usaha imaginatif yang dilakukan oleh perorangan dan kampus, tetapi tak mendapat respon publik secara positif. Imaginasi mereka seakan bukan sebuah ijtihad, sehingga penemunya harus dicacimaki dan diintimidasi, Rektor UMY terpaksa harus mundur, karena penemuan dan kebijakan mereka dianggap melawan common-sense. Sungguh ironis, sebuah organisasi sebesar Muhammadiyah sebagai pengusung utama tajdid (pembaharuan) dalam bidang sosial dan pendidikan di tanah air sekalipun, takut melakukan kesalahan.
Viktor Frankl pernah bilang, bahwa ada empat anugerah Ilahi yang terdapat dalam diri manusia, yaitu (1) kesadaran diri (self-awareness); (2) suara hati (consciense,); (3) kehendak bebas (Independent will,); dan (4) daya imajinasi (imagination,). Semua itu berkaitan dengan kerja akal dan hati sekaligus, tempat di mana kreativitas harus dihargai secara selayaknya. Jika kita tak mampu menghargai sebuah imajinasi, maka jangan berharap dunia pendidikan kita akan menghasilkan ilmuwan berkaliber. Bahkan yang mungkin tumbuh adalah anak didik dengan rasa keputus-asaan, frustasi, dan jauh dari kreatif.
Edu tak tahu harus menafsir apa, ketika di ruang kelas ada seorang siswa mengajukan pertanyaan imajinatif dengan kata ’seandainya’ ,. ”Seandainya Khalifah Umar Ibnu Khtattab benar menjadi Nabi setelah Nabi Muhammad dan masih hidup di zaman sekarang, pasti dia akan memilih John Lennon sebagai Nabi sesudahnya.” ”Apa alasanmu?” Kata Edu. ”Iya dong, dengarlah lagu Imagine, sangat menyentuh sekaligus menggugah dalam kondisi dunia yang semakin tak jelas ini.” Waduh, apakah ini sebuah logika imajinatif atau tanda keputus-asaan seorang siswa? Wallahu a’lam bi al-sawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar