Tidak seorang pun meragukan pentingnya prestasi intelektual dalam diri seorang anak. Namun prestasi intelektual itu jangan sampai melemahkan keyakinan kita bahwa anak akan mencapai hasil yang sebaik-baiknya kalau mereka diberi kesempatan berkembang sesuai dengan langkah yang ditentukan alam bagi mereka. Soalnya, kalau perkembangan intelektual mereka diburu-buru dan didesak-desak, hasilnya justru akan kurang dibandingkan dengan jika mereka dibiarkan berkembang dengan wajar.
Berikut tiga kasus yang sering dijumpai para psikolog yang bisa dipetik sebagai pelajaran.
- Nani, siswa kelas I SD yang kepandaiannya sedang, dipaksa-paksa oleh orangtuanya untuk belajar komputer. Soalnya orangtuanya pernah membaca bahwa kebanyakan anak perempuan kalah dari anak laki-laki dalam pelajaran matematika. Padahal mereka ingin Nani kelak bisa masuk universitas terbaik.
- Boby, anak kelas V SD yang kecerdasannya di atas rata-rata, ternyata mundur sekali prestasinya. Ia selalu lelah dan tegang, karena selain harus membuat PR dan belajar di sekolah, ia juga harus pergi ke perpustakaan, belajar piano, dan latihan renang. "Kami ingin agar ia jangan ketinggalan dalam semua bidang," kata ayahnya, yang tidak mau membuka mata betapa anaknya merasa tertekan dan frustasi.
- Dina, murid SMU. Gurunya pernah menyebutnya sebagai calon genius. Hal itu dianggap ayahnya sebagai isyarat untuk memaksa pelbagai pihak agar membolehkan Dina lompat kelas. Maksudnya, agar Dina bisa masuk universitas setahun lebih awal dari usia normal. Dina tampak bingung dan kehilangan harapan untuk berhasil, tapi orangtuanya tak kenal kompromi. Ia diharuskan meninggalkan minatnya untuk menari, meninggalkan teman-temannya dan juga pacarnya, yang menurut orang- tuanya hanya "hanya membuang-buang waktunya" saja.
Anak yang diburu-buru seperti itu bukan cuma kehilangan kesejahteraan jiwanya, tetapi juga kehilangan kemampuannya untuk menangani stres. Di lain pihak ada orangtua yang tidak mau kalah dari orangtua lain, bertekad membesarkan generasi "bayi super" berupa genius-genius muda yang kekuatan otaknya didorong sampai batas maksimal mulai saat meninggalkan rahim. Bayi-bayi bukan diajak bermain dengan gembira, melainkan dicekoki dengan hal-hal yang dianggap "bekal masuk universitas". Anak belum berumur 4 tahun pun dijejali daftar kata-kata, karena "tahun depan akan dimasukkan ke TK elite".
Bahkan masa liburan pun kini sering tidak bisa dimanfaatkan untuk bersenang-senang dan mengkhayal lagi oleh anak-anak. Sebaliknya, mereka disuruh les macam-macam.
Memang betul bahwa bayi pun lebih mampu menerima pelajaran daripada yang kita bayangkan. Namun mencoba memajukan kemampuan intelektual seorang anak prematur sama saja dengan mengacaukan jadwal biologis perkembangan manusia yang sudah built-in. Perkembangan kemampuan seorang anak bergantung pada perkembangan otak dan sistem sarafnya. Langkah kemajuan anak yang satu bisa beda sekali dari anak yang lain. Dengan memaksa anak menyamakan derapnya dengan anak yang lebih cepat melangkah, kita hanya akan membuat si anak bingung dan frustasi.
Psikolog David Elkind, dalam bukunya "The Hurried Child", melaporkan sekarang banyak anak yang mendapatkan perawatan psikologis, karena dipaksa belajar macam-macam pada saat masih kecil sekali. Menurut Elkind, anak-anak itu diciutkan masa kanak-kanaknya. Stres yang mereka alami sering muncul dalam bentuk gejala-gejala fisik, seperti anak umur 4 tahun yang tadinya selalu sehat, kini sering sakit kepala.
Anak-anak membutuhkan kesempatan di samping belajar, untuk berangan- angan di samping melakukan sesuatu. Kenyataannya anak-anak yang mengalami masa kanak-kanak yang utuh biasanya lebih berhasil sebagai orang dewasa. Bagaimanapun, buah yang matang di pohon tetap lebih enak daripada buah karbitan. Makanya, Roussseau pun berpesan, "Biarlah masa kanak-kanak matang sendiri."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar