Redaksi :
Menjelang tahun ajaran baru, maka semua sekolah bersiap untuk menerima murid baru, tak terkecuali AA25. Adakalanya di antara anak-anak baru tersebut, ada beberapa yang memiliki kondisi khusus, seperti autis, hiperaktif, gangguan konsentrasi, dll..baik yang sudah terdeteksi serta tertangani maupun yang belum ketahuan. AA25 beberapa kali juga menerima murid "spesial" ini. Konsekuensinya tentu para guru dituntut untuk lebih siap dalam menerima berbagai kemungkinan yang akan terjadi, karena tak jarang kondisi khusus anak bisa berakibat pada berbagai tingkahlaku spesial mereka, yg kadang dinilai mengganggu suasana belajar di kelas. Untuk itu, kali ini saya masukkan artikel khusus mengenai "menyekolahkan si anak spesial". Di dalamnya terdapat kriteria pokok apa saja yg harus dipenuhi oleh si anak agar bisa bersekolah di sekolah umum. AA25 sebagai sekolah umum tentunya juga harus mengetahui hal-hal semacam ini, agar bisa membina anak-anak "spesial" ini dengan baik pula, sehingga jauh dari anggapan "asal terima".
Menyekolahkan si anak ’spesial’
Di ajang curhat (mencurahkan isi hati)milis Putera Kembara, milis khusus untuk para orangtua yang anaknya autis, seorang ibu menulis, “Saya punya pengalaman tiga tahun menyekolahkan anak saya yang autis di sekolah umum, dari playgroup sampai TK. Dari segi perilaku banyak sekali kemajuan. Dia sudah care sama temannya, sudah banyak bertanya tentang apa yang dia dengar dari penjelasan gurunya, misalnya apa itu neraka, surga dan lain-lain, meski pun saat diterangkan dia sibuk dengan puzzle-nya.”
Ada lagi orangtua yang mengisahkan, anaknya juga masuk ke playgroup umum, melakukan speech therapy dan konsultasi ke psikolog, dan mengalami perkembangan luar biasa. Sekarang si anak sudah berusia enam tahun, lancar berkomunikasi meski kadang-kadang tak jelas dan harus diulang. Kemampuan akademis si anak juga luar biasa, walau soal maturity agak tertinggal.
Tapi, ada juga orangtua yang rupanya tidak terlalu ’beruntung’. Setelah si anak (4) dimasukkan ke TK umum selama beberapa bulan, mereka melihat hal itu ternyata tidak efektif. Si anak tidak mengalami kemajuan dalam kemampuan untuk berkomunikasi secara verbal, dan yang lebih parah lagi, tujuan agar bisa bersosialisasi seperti yang dicari banyak orangtua ketika menyekolahkan anaknya di sekolah umum ternyata tak tercapai. Maklum, sikap agresif yang kerap ditunjukkan anak autis, membuat anak-anak lain justru takut untuk mendekat.
Memang, anak-anak autis cenderung punya karakter hiperaktif, kurang fokus terhadap lawan bicara, dan membatasi interaksi mereka dengan lingkungan sekitar. Sebagian anak autis punya ingatan dan kemampuan bicara normal, tapi sebagian lagi tidak normal. Yang jelas mereka sulit berinteraksi dengan lingkungan, apalagi berteman. Tak heran kalau mereka seolah punya dunia sendiri, punya minat yang obsesif dan cenderung bersikap repetitif. Bahkan dalam kondisi yang agak parah, sekadar untuk bisa melakukan aktivitas dasar pun mereka butuh latihan intensif.
Meski tak tertutup kemungkinan bagi mereka untuk bersekolah di sekolah umum, dan sebagai orangtua Andalah yang paling berhak memutuskan, pertimbangan berikut mungkin bisa jadi masukan bagi Anda.
Kondisi anak
Bila setelah terdeteksi (autis) anak memperoleh penanganan baik dan mengalami kemajuan pesat, mungkin saja dia bisa disekolahkan di sekolah umum. Tapi, bila modal si anak dari awal sudah ’kurang’ atau kondisi autisnya memang lebih parah, tak bisa bicara misalnya, sebaiknya dia memang tak dimasukkan ke sekolah umum. Begitu pun bila anak autis ini sulit untuk berkonsentrasi di tempat ramai, mungkin sebaiknya orangtua tak memaksa si anak untuk masuk ke sekolah umum.
“Bisa-bisa dia malah benci belajar, hingga kemudian dia berkembang dengan konsep diri yang negatif karena selalu gagal, selalu berada di urutan paling bawah dan tertinggal dari teman-temannya,” kata Dyah Puspita, psikolog dan sekretaris Yayasan Autisme Indonesia (YAI) yang akrab dipanggil Ita ini. Anak boleh didukung untuk masuk ke sekolah umum kalau taraf autisnya terbilang ringan.
Menurut Vera Itabiliana, psikolog anak dan remaja, sebelum memutuskan apakah si anak perlu dimasukkan ke sekolah khusus atau tidak, orangtua perlu menguji anaknya dengan sejumlah pertanyaan, seperti: Bisakah si anak duduk diam di kelas selama jangka waktu yang lama, bisakah dia mengikuti aturan, bisakah dia memahami instruksi orang lain, atau bisakah dia mengendalikan emosinya ketika ada sesuatu yang tak berkenan terjadi? “Bila semua pertanyaan di atas jawabannya “tidak”, ya tidak ada positifnya memaksa anak masuk sekolah umum, lebih baik dia masuk sekolah khusus saja,” kata Vera.
Toh, hal itu terpulang lagi kepada orangtua. Sebagai psikolog yang juga terapis bagi anak-anak autis dan pengelola sekolah autis Mandiga, Ita tak pernah langsung menganjurkan agar seorang anak autis dimasukkan ke sekolah umum atau sekolah khusus. “Semuanya terserah orangtua si anak, saya hanya memberitahu kemungkinan-kemungkinan yang akan mereka hadapi sebagai konsekuensi pilihannya,” katanya.
Jadi, sah-sah saja, kok, kalau orangtua mau coba-coba dulu memasukkan anaknya ke sekolah umum. Siapa tahu si anak memang mampu. Tapi, bila si orangtua sejak awal memang menyadari si anak mungkin sulit menyesuaikan diri di sekolah biasa, sekolah khusus akan menjadi pelabuhan yang tepat. Ketika anak lain patuh saat disuruh latihan menulis misalnya, si autis mungkin akan ’membangkang’ dan asyik sendiri melakukan hal lain. Itulah yang mungkin akan menyulitkan mereka di sekolah umum.
Biasanya orangtua yang tak bisa memasukkan anaknya ke sekolah umum memang mengalami kebingungan. Tapi, menurut Ita, saat ini sudah cukup banyak pilihan. “Selain di SLB (Sekolah Luar Biasa), bisa juga dia dimasukkan ke sekolah reguler, di special wings dengan special needs, yang menerapkan kurikulum tersendiri, atau homeschooling saja. Orang belajar itu kan tidak harus selalu di sekolah umum. Kalau ada sekolah khusus, itu baik, tapi kalau nggak ada, kenapa nggak dibuat? Nggak punya tempat? Di garasi saja!” kata Ita.
Lalu bagaimana dengan guru-gurunya? Nggak ada, lho, guru yang siap pakai. Semua belajar lagi karena setiap anak berbeda karakternya. Tak ada satu anak autis pun yang sama persis dengan anak autis yang lain. Satu hal yang utama, guru itu harus punya niat untuk membaktikan diri terhadap tugasnya, karena urusan ilmu dan teknik bukanlah sesuatu yang tak bisa dipelajari.
Lingkungan kondusif
Di sekolah khusus, kebutuhan anak-anak ini memang lebih terpenuhi karena lingkungan fisik, pengajar maupun kurikulumnya sudah dirancang sedemikian rupa sehingga lebih cocok dengan kondisi anak. “Anak berada di lingkungan yang bisa memahami kondisi khusus mereka tanpa ada label ’anak aneh’ atau anak bandel. Maklum, anak yang hiperaktif sering dicap biang onar di sekolah-sekolah umum,” kata Vera. Akibatnya, kepercayaan diri anak lebih terjaga karena dia tidak merasa ’aneh’ sendiri atau tertinggal dari teman lain yang normal.
Itulah juga pertimbangan Aprilia, ibu dari Davina (4), ketika memilih menyekolahkan anaknya di sebuah sekolah khusus untuk anak-anak autis. “Saya lihat perkembangan anak juga akan lebih optimal karena terapi bisa dilakukan sambil sekolah. Guru-gurunya juga mempunyai keahlian sebagai terapis,” katanya.
Sebaliknya di sekolah umum, guru seringkali minim atau tak punya pengalaman sama sekali menangani anak-anak ’spesial’ ini. Bukan itu saja, guru juga sulit memberikan perhatian khusus kepada si anak autis karena rasio jumlah anak dan guru dalam satu kelas kurang ideal. Di sekolah umum, satu kelas biasanya berisi lebih dari 20 anak. Bandingkan dengan di sekolah khusus anak autis, di mana satu guru rata-rata menangani tiga anak. “Lebih dari itu, pasti sudah keteteran,” kata Ita.
Selain itu, menurut Ita, “Jangankan untuk anak autis, untuk anak normal pun kurikulum pendidikan nasional saat ini sudah lumayan berat.” Pantaslah kalau anak autis yang bersekolah di sekolah umum biasanya jadi lebih tertatih-tatih. Karena itu, menurut Ita, metode belajar di sekolah autis Mandiga dibatasinya hanya pada hal-hal yang bersifat aplikatif. “Mereka diajari membaca, menulis, berhitung. Tapi yang lain-lain, kira-kira terpakai atau tidak? Kalau tidak, ya lebih baik tidak usah,” katanya.
Cara mengajar pun tidak bisa selalu sama untuk setiap anak. Untuk mengajarkan sebuah kosa kata, misalnya, guru anak autis tak jarang harus putar otak untuk bisa menarik perhatian mereka. Tak jarang mereka harus memulainya dari sesuatu yang menarik minat anak. Contoh bila si anak suka oli, maka akan lebih efektif kalau dia mulai belajar dari kata “oli”, sementara bila dia suka mobil, ya akan lebih efektif untuk mulai mengajari dia dari kata “mobil”.
Karena setiap penyandang autis berbeda dalam mengolah dan merespon informasi, kurikulum dalam proses belajar-mengajar memang harus disesuaikan dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing anak. Pola pendidikan yang tepat itu juga harus diajarkan oleh guru-guru yang memang punya dedikasi untuk mendidik dan mau mencintai anak-anak ’spesial’ itu. Kalau tidak, terbayang kan rasanya menghadapi anak-anak yang bisa menangis terus selama berjam-jam tanpa henti, atau marah-marah dan malah kadang mengamuk tanpa alasan.
Saat ini, perhatian pemerintah terhadap pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus (special needs) memang masih sangat minim. Padahal, jumlah anak-anak dengan berbagai kekurangan ini terus bertambah. Saat ini saja, menurut Yayasan Autisme Indonesia, meski belum ada penelitian khusus, diperkirakan dari 160 kelahiran satu diantaranya adalah anak autis. Wah, kenapa bisa sebesar itu? “Memang autis itu biasanya dipengaruhi oleh faktor genetis, tapi pemicunya bisa dari faktor eksternal seperti gaya hidup, vaksin, makanan, pengaruh zat-zat kimia, dan polusi yang makin parah," kata Ita. “Bayangkan kalau jumlah mereka terus bertambah dan tidak memperoleh pendidikan yang memadai. Betapa pun mereka itu kan juga generasi penerus,” tambahnya.
Rasa prihatin Ita itu mungkin ungkapan hati seorang ibu yang anaknya juga penyandang autis. Tapi, harapan akan perhatian yang lebih besar terhadap anak-anak berkebutuhan khusus seperti anak-anak autis ini mungkin juga harapan kita semua. Harapan ini bahkan juga pernah dilontarkan Torey Hayden, psikolog dan guru anak-anak berkebutuhan khusus asal Inggris ketika bertandang ke Indonesia sekitar dua tahun lalu. Menurut penulis buku laris Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil itu, anak-anak ini perlu bersekolah di tempat yang tepat karena sebagian dari mereka punya potensi intelektual yang tak kalah dibanding anak normal. Pendidikan yang baik dan sesuai dengan kebutuhan mereka akan membuat anak-anak ini bisa hidup wajar, mandiri, dan tidak sepenuhnya bergantung pada keluarga dan lingkungan.
***
Anak-anak dengan down syndrome
A gift of life, anak-anak ini adalah kado dari Tuhan. Mereka bukan untuk disembunyikan, bukan pula untuk dianggap sebagai kutukan yang memalukan. Mereka juga berhak untuk menikmati kehidupan seperti anak normal yang diajak jalan-jalan oleh orangtuanya ke mal, atau diajak bersosialisasi dengan anak lain. Itulah yang selalu ditekankan oleh Doni Rizal, direktur eksekutif dan para pengajar di Pusat Informasi dan Pendidikan Down Syndrome Matahari Lestari kepada para orangtua anak-anak down syndrome.
Berbeda dengan anak autis yang selintas terlihat seperti anak normal, anak-anak down syndrome memang langsung bisa dilihat perbedaannya dengan anak normal. Wajah mereka bundar seperti bulan purnama (moon face), dengan mata sipit yang ujung-ujungnya tertarik ke atas. Sampai saat ini, belum diketahui apa penyebab kerusakan kromosom No.21 yang menjadi pemicu kelainan genetis penyebab down syndrome ini. Tapi diperkirakan ada beberapa faktor yang berperan, seperti usia ibu yang sudah cukup lanjut, terpapar ultrasound USG lebih dari 400 kali, pengaruh alkohol, obat-obatan Cina, dan lain-lain.
Anak-anak down syndrome punya tiga karakter khas, yaitu: secara intelektual rendah, secara mental terbelakang dan secara fisik mereka juga lemah. “Dengan kondisi seperti itu, tidak mungkin bagi kita untuk mengajari mereka biologi atau fisika. Yang penting mereka bisa bina diri (mandiri), bisa menulis dan membaca, dan memiliki beberapa keahlian lain seperti menggambar atau melukis.” kata Doni.
Di sekolah khusus down syndrome Matahariku yang dikelola oleh Yayasan Matahari Lestari, anak-anak down syndrome ini belajar untuk mandiri. Selain mengajarkan kemandirian dasar, sekolah ini juga mempunyai program jangka menengah school to work, yaitu program yang mempersiapkan anak-anak ini agar di masa pubertas mereka bisa mandiri dan melakukan pekerjaan dasar. “Di Belgia, misalnya, ada pabrik roti, toko pembuat kartu dan sebagainya yang menggunakan para penderita down syndrome sebagai pekerja. Program ini juga sangat berhasil di Singapura dan bisa menyalurkan anak-anak tersebut untuk bekerja di hotel, entah itu di bagian laundry, atau sebagai bell boy. Bahkan ada juga yang bisa menjadi pengarang meski dengan intelektualitas dan mentalitas yang terbelakang.
Selain sangat fokus pada pekerjaan yang mereka tekuni, anak-anak down syndrome ini juga punya keistimewaan sangat pintar meniru. Akibatnya, mereka harus diekspos pada lingkungan yang baik. Jika bersekolah sama-sama dengan anak autis atau anak-anak yang hiperaktif misalnya, mereka juga akan cenderung meniru sikap hiperaktif itu. Tapi, pada dasarnya anak down syndrome cukup ramah dan terbuka sehingga mereka juga bisa bersosialisasi, meski untuk itu tentunya mereka butuh dukungan penuh dari orang-orang di sekitarnya.*